Minggu, 21 Maret 2010

KARAKTERISTIK EKONOMI ISLAM


ilustrasi: akhmad skj
Agama Islam memandang bahwa semua bentuk kegiatan ekonomi adalah bagian dari mu’amalah. Sedangkan mu’amalah termasuk bahagian dari syari’ah, salah satu sisi dari bagian mata uang, satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan: aqidah dan akhlaq. Dalam kaitan ini Allah SWT. memberi tamsil tentang hubungan yang tak terpisahkannya ketiga ajaran pokok Islam itu dalam firman-Nya:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang Telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun” (QS.Ibrahim: 24-26)


Ekonomi Islam (yang selanjutnya disebut dengan ekonomi syari’ah) dibangun, ditegakkan, dan dilaksanakan berdasarkan semangat menjunjung tinggi nilai-nilai: aqidah, tauhid, keadilan, kebebasan, dan. kemashlahatan. Nilai-nilai kemuliaan itu disarikan dari firman Allah yang antara lain termaktub di dalam QS. At-Takaatsur:1–2), Al-Munaafiquun: 9, An-Nuur: 37, Al-Hasyr: 7, Al-Baqarah: 188, 273– 281, Al-Maidah: 38, 90-91, Al-Muthaffifin:1-6.

Dalam kaitan ini Al Qur’an telah menyerukan agar setiap muslim melakukan segala aktivitas kehidupannya termasuk dalam bidang ekonomi selalu bertumpu pada aqidah. Dalam hal ini berarti bahwa pencipta, pemilik dan penguasa segala yang ada hanyalah Allah Yang Maha Tunggal. Karena itu, manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya dalam melakukan kegiatan ekonomi selalu bertumpu pada keimanan kepada Allah SWT dan bertujuan mencari ridha-Nya. Kegiatan ekonomi yang berlandaskan aqidah tauhid menjamin terwujudnya kemaslahatan dan kebaikan perekonomian untuk masyarakat luas –bukan hanya masyarakat muslim. Hal ini, karena ekonomi dalam pandangan Islam merupakan sarana dan fasilitas yang dapat membantu pelaksanaan ibadah dengan sebaik-baiknya. Kegiatan ekonomi yang demikian dilaksanakan oleh pelaku-pelaku ekonomi yang selalu merasakan kehadiran dan pengawasan Allah SWT, sehingga selalu berhias dan menjunjung tinggi akhlak yang terpuji, keadilan, bebas dari segala tekanan untuk meraih kebaikan hidup yang diridhai Allah SWT dunia dan akhirat.

Keterikatan kegiatan ekonomi yang berlandaskan aqidah tauhid dengan akhlak yang terpuji tidak dapat dipisahkan. Peranan aqidah tauhid dan akhlak yang terpuji dalam semua kegiatan setiap manusia, termasuk di dalamnya kegiatan bidang ekonomi, adalah sangat penting. Kedua pokok ajaran Islam itu akan mengarahkan kegiatan perekonomian dalam bingkai yang sesuai dengan syari’at Islam. Sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an keadilan adalah kunci dasar dari segala aktivitas manusia yang menginginkan terwujudnya kesejahteraan dunia dan akhirat.

Dalam kaitan ini aqidah tauhid sebagai fondasi dari seluruh kegiatan setiap muslim merupakan manifestasi dari keadilan, sebaliknya syirk (menyekutukan Allah) adalah bahagian dari kezaliman (QS. Luqman: 13). Keadilan merupakan sarana terdekat untuk menuju taqwa, yaitu suatu tingkatan akhlaq terpuji yang paling tinggi (QS. Al-Maidah: 8) Oleh sebab itu seluruh kebijakan kegiatan perekonomian harus berlandaskan pada prinsip keadilan dan secara intrinsik mewujudkan tolong menolong dan kemitraan. Ekonomi dalam pandangan Islam harus menjalankan dua misi perekonomian sekaligus, yaitu pertumbuhan dan pemerataan distribusi. Pada tataran teknis kedua misi itu tampak pada produk mudharabah (lost and profit sharing). Pada produk ini pemilik modal dan pengelola modal ditempatkan pada posisi yang sejajar dan berkeadilan. Lebih jauh, Al-Qur’an dan Hadis memandang prinsip keadilan sebagai salah satu tujuan pokok syari’ah (QS. An Nahl: 90). Karena itu, para ulama Islam telah menetapkan kesepakatannya bahwa prinsip berkeadilan merupakan syarat utama pelaksanaan kegiatan perekonomian syari’ah untuk mencapai kesejahteraan bersama. Prinsip kebebasan dimaksudkan bahwa manusia bebas melakukan seluruh kegiatan perekonomian selama tidak melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa segala bentuk kreativitas dan inovasi di bidang perekonomian adalah merupakan keniscayaan. Pilar kebebasan yang melandasi aktivitas ekonomi menanamkan aqidah dan keyakinan pada setiap muslim untuk tidak patuh dan tunduk selain kepada peraturan dan ketentuan Allah SWT (QS. Ar-Ra’d: 36 dan QS. Luqman: 32). Ini merupakan dasar bagi piagam kebebasan Islam dari segala bentuk perbudakan.  Berkaitan dengan hal ini, Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tujuan utama dari risalah kenabian Muhammad SAW adalah membebaskan seluruh umat manusia untuk mengabdi hanya kepada Allah SWT. Islam membebaskan seluruh pemeluknya dari segala macam belenggu hawa nafsu, dan godaan setan (QS. Al-A’raf: 157).

Konsep Islam sangat jelas dan lantang bahwa manusia dilahirkan merdeka. Karenanya, tidak ada seorang pun bahkan negara sekalipun yang boleh merampas kemerdekaan tersebut dan membuat manusia menjadi terikat. Dengan kata lain, manusia diberi kebebasan sepanjang dapat mempertanggungjawabkan, baik kepada sosial maupun kepada Allah. Islam menjamin kebebasan setiap individu yang dibingkai oleh akhlak yang terpuji dan tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar serta tidak mengabaikan hak-hak kebebasan orang lain. Berkaitan dengan ini, para ulama Islam telah menetapkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam menjamin hak-hak kebebasan individu dalam bermasyarakat. Prinsip-prinsip itu antara lain sebagai berikut:
Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari pada kepentingan individu.
Menghilangkan kesulitan (dar’u al-mafasid) harus diprioritaskan dibanding menarik manfaat (jalbu al-mashaalih)

Memperoleh kerugian yang lebih besar yang disebabkan mendahulukan tindakan untuk menghilangkan kerugian yang lebih kecil tidak dapat diperkenankan. Sebaliknya demikian juga mengorbankan manfaat yang lebih besar untuk mempertahankan atau meraih manfaat yang lebih kecil juga dilarang. Demikian juga menanggung resiko bahaya yang lebih kecil untuk menghindarkan resiko bahaya yang lebih besar, atau mengorbankan manfaat yang lebih kecil untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar adalah tindakan yang dibenarkan.

Pertanggungjawaban dalam kegiatan ekonomi syari’ah memiliki arti bahwa manusia sebagai pemegang amanah memikul tanggung jawab atas segala keputusan yang telah diambil atau tindakan yang telah dilakukan. Manusia menurut Islam adalah makhluk yang mempunyai kebebasan untuk menentukan berbagai pilihan yang akan diambil. Konsekwensi kebebasan ini kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Oleh karena itu hampir tidak ditemukan di dalam perkembangan ekonomi Islam tindakan-tindakan yang didasari oleh sikap positivisme –yang merupakan salah satu dari pilar penting dalam perekonomian konvensional. Positivisme berarti sebagai paham bebas nilai, bebas etika atau bebas dari pertimbangan-pertimbangan normatif adalah bertentangan secara diametral dengan sikap Islam yang mengakui bahwa segala yang dimiliki manusia adalah amanat, titipan, dari Allah SWT. Seluruh sumberdaya adalah karunia Allah yang dititipkan kepada manusia sebagai sarana mempermudah pengabdiannya kepada-Nya. Karena itu segala tindakan manusia menyangkut masalah ekonomi ini kelak akan dimintakan pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang -orang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”.(QS. Al- Hadid: 7)

Karakteristik terpenting yang membedakan antara sistem ekonomi syari’ah dan ekonomi konvensional adalah bahwa ekonomi syari’ah tidak dapat dipisahkan dengan aqidah, syari’ah dan akhlaq. Dalam praktiknya, sistem ekonomi syari’ah dimanifestasikan dalam kegiatan perekonomian yang menjunjung tinggi dan dibingkai oleh akhlak yang terpuji. Hanya dengan menjunjung tinggi akhlak yang terpuji (al-akhlaaq al-kariimah) kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan manusia akan terwujud. Mendidik dan menegakkan akhlak yang terpuji inilah yang menjadi misi utama dari risalah kenabian Muhammad SAW. “Sesungguhnya tidaklah aku diutus, melainkan untuk menyempurnakan akhlak”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam sama sekali tidak memperkenankan semua pemeluknya untuk melakukan kegiatan ekonomi yang mengabaikan dan menyimpang dari kemuliaan dan keutamaan yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya. Wallahu'alam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar