Sabtu, 20 Maret 2010

Riba dan Permasalahannya

Eksistensi Riba Menurut Islam
Munculnya paham sistem ekonomi kapitalis yang berpatokan bahwa bunga (interest) adalah cost of money yang menurut sebagian ulama merupakan riba. Riba telah menjadi polemik dalam kalangan umat Islam. Beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga tidak sama dengan riba. Al-Quran dan Hadist mennyatakan dengan sangat jelas bahwa bunga itu termasuk riba. Dan riba hukumnya haram. Alasan tersebut antara lain :

Dalam keadaan darurat bunga hukumnya halal. Argumentasinya bahwa sebelum ada bank Islam umat Islam mengalami kesulitan untuk memperoleh modal dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan usaha. Namun konsep darurat yang digunakan untuk pembenaran halalnya bunga secara fiqh tidak relevan. Darurat menurut Imam As-Suyuti dalam bukunya Asybah wan Nadhair adalah suatu keadaan emergency yaitu jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian. 

 Para ulama juga sering mencontohkan untuk kondisi darurat yang menyebabkan bolehnya makan daging babi, atau bangkai, yaitu seorang yang tersesat atau kelaparan dimana tidak ada sesuatu yang dapat dimakan kecuali hanya daging babi itu, maka daging babi tersebut boleh dimakan. Persoalan hukum keharaman daging babi tetap tidak berubah, hanya saja Allah SWT mengampuninya karena kondisi darurat, sebagaimana firman-Nya dalam Quran :

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS: Al Baqarah : 173)

Dengan halalnya bunga dengan argumentasi keadaan darurat menjadi batal, karena dilakukan tanpa batasan waktu dan tidak ada upaya mencari pengganti kepada hal-hal yang sesuai dengan syariah.

Hanya bunga yang berlibat ganda yang haram, sedangkan suku bunga yang wajar dan tidak menzalimi tidak dilarang. Pemahaman ini didasari atas Quran surat al Imran ayat 130 :

“Hai orang-orang yang beriman, jangan kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan”

Para ulama menafsirkan perkataan “berlipat” dalam Quran surat Al-Imran ayat 130 bukanlah syarat sah tidaknya riba. Kata “berlipat” adalah kata sifat yang menjelaskan karakteristik riba itu berlipat. Hal ini dapat dikaji dari fase-fase pelarangan terhadap riba dengan segala aspek dan bentuknya. Bahwa riba tetap haram tidak tergantung pada besar kecilnya kelipatan atau jenis dan bentuknya.

Bank sebagai lembaga tidak masuk dalam katagori mukallaf. Dengan demikian tidak termasuk yang terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba. Alasannya bahwa pada masa Nabi belum ada lembaga keuangan bank, artinya bank bukanlah yang termasuk dalam larangan riba.

Pendapat di atas tidak bisa dijadikan dasar argumentasi halalnya bunga. Karena pada zaman Nabi telah berdiri lembaga keuangan yang berbadan hukum atau yang disahkan oleh penguasa. Dalam sejarah Romawi dan Persia telah banyak berdiri lembaga keuangan yang disahkan oleh penguasa setempat.

Keseimpulan argumentasi kehalalan bunga dengan sendirinya menjadi tidak sah. Apapun bentuk dan jenisnya serta besar kecilnya tingkat suku bunga bila Islam telah menetapkan haram, maka haram selamanya sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 278-279 :


“ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka" (al-Ahzab : 36).

Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata ; Rasulullah Saw. bersabda; Akan datang suatu zaman, tidak ada seorang pun kecuali ia terlibat dalam memakan harta riba. Kalau ia tidak memakannya secara langsung, ia akan terkena debunya.” (HR. Ibnu Majah)

“Seseorang yang memakan harta riba dengan sadar adalah lebih hina daripada tiga puluh enam kali berbuat zinah” (HR. Imam Ahmad).

Rasulullah Saw. melaknat orang yang memakan harta riba, orang yang menyaksikannya, demikian pula orang yang mencatatnya. Rasulullah Saw. bersabda. “Mereka adalah sama”. (HR. Muslim)

Macam – Macam Riba
Pengertian riba yang disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhab fiqh:
Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shih Al- Bukhari: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan harta atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil”.

Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tampa adanya iwadh atau (padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut”.

Raghib Al Asfahani: “Riba adalah penambahan atas harta pokok”

Imam An Nawawi dari mazhab Syafi’i: “Riba adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lamanya waktu pinjaman”.

Ja’far Ash Shadiq dari kalangan Syiah: Allah melarang riba, supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjman, maka seseorang tidak berbuat ma’aruf lagi atas transaksi pinjam meminjam dan sejenisnnya. Padahal al-qord bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia”.

Imam Ahmad bin Hambal, pendiri mazhab Hanafi: “Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana lebih (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan” 

Wahyu Sofyan, SE
disarikan dari kuliah Ekonomi Islam, 
Dosen: Ahmad Sukatmaja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar