Sabtu, 11 September 2010

Negara dan Syari’ah


Image: kompasiana
Sekali lagi, hubungan antara negara dan syari’ah menjadi salah satu tema pokok di kalangan institusi kajian Islam di mancanegara. Kali ini adalah The Middle East Institute Columbia University New York yang bekerja sama dengan The Eastern Asia Institute pada universitas yang sama, yang mengkaji subjek ini dalam rangkaian seminar dan lokakarya selama setahun penuh. Bagi lembaga akademis ini, perspektif perbandingan di antara negara-negara Muslim dan kaitan dengan syari’ah dapat membuka pemahaman baru tentang subjek ini.
Saya beruntung mendapat kesempatan memberikan ceramah kunci yang merupakan kick off dari pembahasan tentang negara dan syari’ah yang diselenggarakan kedua lembaga Columbia University tadi pada 4 November 2009 lalu. Selanjutnya, 5 November disusul lokakarya yang menghadirkan para panelis yang terlibat dalam penelitian tentang subjek ini: John Bowen, guru besar Washington University, St Louis; Clark Lombardi, guru besar University of Washington, Seattle; Michael Feener, guru besar National University of Singapore; dan saya sendiri.

Sejauh hubungan negara dengan syari’ah, memang terdapat sejumlah negara Muslim, seperti Arab Saudi dan Sudan, yang menerapkan syari’ah dalam sistem hukum mereka. Tetapi juga, ada negara Muslim seperti Turki yang menolak sama sekali mengadopsi apa pun ketentuan syari’ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, ada juga negara Muslim semacam Indonesia yang dalam batas tertentu menasionalisasi prinsip tertentu syari’ah dengan melalui proses 'objektivikasi' tertentu.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan syari’ah? Baik kalangan akademis maupun masyarakat awam sering tidak memiliki perspektif dan pemahaman yang jelas dan tepat tentang syari’ah. Terlepas dari itu, satu hal sudah jelas; syari’ah jauh lebih luas cakupannya daripada law dan hukum dalam masyarakat Indonesia maupun Barat. Syari’ah mencakup bidang sangat luas, yang tidak diatur dalam sistem hukum manapun.
Syari’ah itu sendiri dalam pengertian asli dan terbatas adalah wahyu-wahyu Alquran berkaitan dengan soal-soal hukum tertentu. Dalam perkembangannya, sesuai kebutuhan kaum Muslimin, ayat-ayat hukum ini umumnya perlu diperjelas, ditafsirkan, dan dirinci dengan menggunakan hadis agar dapat menjadi ketentuan yang secara praktis bisa dilaksanakan. Proses ijtihad dan instinbat hukum ini melahirkan fikih (yurisprudensi Islam) yang mengandung berbagai ketentuan rinci mengenai berbagai hal untuk dijalankan kaum Muslimin.
Karena itu, kandungan fikih (yang secara misleading disebut sebagai syari’ah) itu menjadi sangat luas. Tetapi, jika disederhanakan mencakup tiga bidang pokok: Pertama fikih ibadah ketentuan tentang pelaksanaan ibadah, yang setiap Muslim mesti menerima agar bisa menjalankan ibadah dengan baik; kedua, fikih ibadah--ketentuan tentang hubungan sosial, seperti nikah, talak, cerai, rujuk, waris dan sebagainya, yang juga mesti diadopsi setiap Muslim agar dapat menjadi Muslim lebih baik; dan ketiga fikih jinayah--ketentuan tentang pidana, termasuk khususnya yang sangat kontroversial mengenai hudud, potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina.
Banyak aspek fikih tersebut telah dilaksanakan kaum Muslim--apakah dengan atau tanpa campur tangan negara.
Bagi Muslimin yang ingin lebih baik, pelaksanaan ketentuan fikih dalam kehidupan mereka lebih didasarkan pada kepatuhan dan keikhlasan mematuhi hukum agama; bukan karena paksaan siapa pun, khususnya negara yang memiliki alat-alat yang dapat memaksa setiap warga negaranya untuk menjalankan ketentuan hukum.
Tetapi, mengapa ada gejala yang terlihat jelas dalam dasawarsa terakhir ini, di mana terdapat berbagai tuntutan dan berbagai usaha di kalangan kaum Muslimin tertentu agar negara mengadopsi secara resmi ketentuan syari’ah (atau tepatnya fikih), khususnya menyangkut jinayah. Gejala ini terdapat di sejumlah negara Muslim, sejak dari Nigeria sampai ke Indonesia.
Dan di Indonesia sendiri, adopsi ketentuan syari’ah/fikih (sekali lagi khususnya tentang jinayah) ke dalam sistem hukum nasional sejauh ini telah tertutup dengan kesepakatan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 sepanjang empat kali amandemen dalam masa pasca-Soeharto.
Dengan demikian, tujuh kata yang juga dikenal sebagai 'Piagam Jakarta' tidak dikembalikan ke dalam Pembukaan UUD 1945 sehingga penerapan syari’ah oleh negara menjadi ketidakniscayaan.
Gejala kalangan Muslim untuk mengadopsi syari’ah didorong banyak faktor yang amat kompleks, mulai dari merosotnya kepercayaan pada hukum nasional yang gagal memecahkan berbagai masalah hukum; gagalnya negara menegakkan hukum; meningkatnya semangat keagamaan yang bernyala-nyala; sampai pada politisasi oleh elite politik untuk kepentingan politis mereka masing-masing.

Karena itu, selama faktor-faktor ini bertahan, selama itu pula keinginan dan usaha campur tangan negara dalam penerapan syari’ah tetap muncul dan berkecambah.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 12 November 2009

 Azyumardi Azra
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=246

Tidak ada komentar:

Posting Komentar