Sabtu, 11 September 2010

Rekonstruksi Ekonomi Islam


Badai krisis finansial tengah melanda negara adikuasa AS. Beberapa bank multinasional yang menghegemoni di penjuru dunia lantak selaksa dihantam tsunami yang melanda Nangroe Aceh Darussalam beberapa waktu silam. Dimulai dari kolapsnya lembaga sekuritas Lehman Brothers dan investment bank terbesar kelima di Amerika Bear Stearns. Beberapa saat sebelumnya, pemerintah Amerika mengambil alih perusahaan mortgage terbesar; Freddie Mac dan Fannie Mae. Sementara Merrill Lynch perusahaan pesaing Lehman Brothers mengalami kondisi tak jauh beda sehingga diakuisisi Bank of America. Perusahaan raksasa lainnya, American International Group (AIG) salah satu perusahaan asuransi terbesar di dunia saat ini sedang mencari pinjaman sebesar 40 milyar dollar.
Untuk mengatasi badai krisis yang sedemikian hebat dan untuk menyelamatkan bank-bank raksasa yang terpuruk, pemerintah Amerika Serikat melakukan bail out sebesar 700 milyar USD sampai dengan satu triliun USD. Beberapa saat setelah informasi kebangkrutan Lehman Brothers, pasar keuangan dunia mengalami terjun bebas pada level terendah. Beberapa bank besar yang kolaps dan runtuhnya berbagai bank investasi lainnya di Amerika Serikat memicu gelombang kepanikan di berbagai pusat keuangan seluruh dunia.
Pasar modal di AS, Eropa dan Asia mengalami panic selling yang mengakibatkan jatuhnya indeks harga saham disetiap pasar modal. Bursa saham belahan dunia terjun bebas. Pasar modal London mencatat rekor kejatuhan terburuk dalam sehari yang mencapai penurunan 8%. Sedangkan Jerman dan Prancis masing-masing ditampar dengan kejatuhan pasar modal sebesar 7% dan 9%. Pasar modal emerging market seperti Rusia, Argentina, dan Brazil juga mengalami keterpurukan yang parah yaitu 15%, 11% dan 15%. Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41% (sebelum disuspend), dan zona Eropa 37% (diolah dari berbagai sumber). Sementara pasar surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang terdepresiasi dan harga komoditas anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas minyak menilai bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.
Bursa saham Wall Street terus melorot, Dow Jones sebagai episentrum pasar modal dunia terjun bebas. indeks Dow Jones menunjukkan angka terburuk dalam empat tahun terakhir yaitu berada di bawah angka 10.000. Berdasarkan fakta dan realitas yang terjadi, drama krisis keuangan memasuki tingkat keterpurukan yang amat dalam dan dapat dikatakan bahwa krisis finansial Amerika saat ini jauh lebih parah dari krisis Asia pada tahun 1997-1998. Sejumlah analis berpendapat inilah detik-detik kehancuran ekonomi Amerika negara yang menganut sistem ekonomi neoliberal yang dan menancapkan ekonomi imperialisnya menghegemoni negara-negara di belahan dunia (meminjam istilah dari Amien Rais pada Talk Show Save The Nation, Metro TV, Rabu 12 Nov 08) akhirnya ambruk juga.
Pada akhirnya, situasi ini akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga keuangan termasuk pada pemerintah dengan sistem perekonomian neoliberalnya yang ternyata rapuh. Suatu gambaran tragis bagi imperium bernama Amerika yang selalu sesumbar dengan sistem perekonomian kapitalis yang disebarkannya ke seluruh dunia, ternyata tidak mampu menolong perekonomian negerinya sendiri ketika terancam kebangkrutan.

REKONSTRUKSI EKONOMI ISLAM
Islam  merumuskan suatu sistem ekonomi yang sama sekali berbeda dengan sistem yang selama ini dipahami dan diamini banyak negara. Tujuan dari ekonomi islam bukan semata-mata berorientasi pada materi, tetapi lebih pada konsep kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, yang memberikan nilai keadilan ekonomi dan menuntut kepuasan seimbang antara kebutuhan materi dan rohani yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah nabi.
Islam memandang bahwa semua bentuk kegiatan ekonomi adalah bagian dari mu’amalah. Sedangkan mu’amalah termasuk bahagian dari syari’ah, salah satu sisi dari bagian mata uang, satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan: aqidah dan akhlaq. Dalam kaitan ini Allah SWT. memberi tamsil tentang hubungan yang tak terpisahkannya ketiga ajaran pokok Islam itu dalam firman-Nya:

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang Telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun..” (QS.Ibrahim: 24-26)

Ekonomi Islam yang selanjutnya disebut dengan ekonomi syari’ah dibangun, ditegakkan dan dilaksanakan berdasarkan semangat menjunjung tinggi nilai-nilai: ‘aqidah tauhid, keadilan, kebebasan, dan. kemashlahatan. Nilai-nilai kemuliaan itu disarikan dari firman Allah yang antara lain termaktub di dalam QS. At-Takaatsur:1–2, Al-Munaafiquun: 9, An-Nuur: 37, Al-Hasyr: 7, Al-Baqarah: 188, 273– 281, Al-Maidah: 38, 90-91, Al-Muthaffifin:1-6.
Dalam kaitan ini Al Qur’an telah menyerukan agar setiap muslim melakukan segala aktivitas kehidupannya termasuk dalam bidang ekonomi selalu bertumpu pada aqidah. Dalam hal ini berarti bahwa pencipta, pemilik dan penguasa segala yang ada hanyalah Allah Yang Maha Tunggal. Karena itu, manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya dalam melakukan kegiatan ekonomi selalu bertumpu pada keimanan kepada Allah SWT dan bertujuan mencari ridha-Nya. Kegiatan ekonomi yang berlandaskan aqidah tauhid menjamin terwujudnya kemaslahatan dan kebaikan perekonomian untuk masyarakat luas –bukan hanya masyarakat muslim. Hal ini, karena ekonomi dalam pandangan Islam merupakan sarana dan fasilitas yang dapat membantu pelaksanaan ibadah dengan sebaik-baiknya. Kegiatan ekonomi yang demikian dilaksanakan oleh pelaku-pelaku ekonomi yang selalu merasakan kehadiran dan pengawasan Allah SWT, sehingga selalu berhias dan menjunjung tinggi akhlak yang terpuji, keadilan, bebas dari segala tekanan untuk meraih kebaikan hidup yang diridhai Allah SWT dunia dan akhirat.
Keterikatan kegiatan ekonomi yang berlandaskan aqidah tauhid dengan akhlak yang terpuji tidak dapat dipisahkan. Peranan aqidah tauhid dan akhlak yang terpuji dalam semua kegiatan setiap manusia, termasuk di dalamnya kegiatan bidang ekonomi, adalah sangat penting. Kedua pokok ajaran Islam itu akan mengarahkan kegiatan perekonomian dalam bingkai yang sesuai dengan syari’at Islam. Sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an keadilan adalah kunci dasar dari segala aktivitas manusia yang menginginkan terwujudnya kesejahteraan dunia dan akhirat.
Dalam kaitan ini aqidah tauhid sebagai fondasi dari seluruh kegiatan setiap muslim merupakan manifestasi dari keadilan, sebaliknya syirk (menyekutukan Allah) adalah bahagian dari kezaliman (QS. Luqman: 13). Keadilan merupakan sarana terdekat untuk menuju taqwa, yaitu suatu tingkatan akhlaq terpuji yang paling tinggi (QS. Al-Maidah: 8). Oleh sebab itu seluruh kebijakan kegiatan perekonomian harus berlandaskan pada prinsip keadilan dan secara intrinsik mewujudkan tolong menolong dan kemitraan. Ekonomi dalam pandangan Islam harus menjalankan dua misi perekonomian sekaligus, yaitu pertumbuhan dan pemerataan distribusi. Pada tataran teknis kedua misi itu tampak pada produk mudharabah (lost and profit sharing). Pada produk ini pemilik modal dan pengelola modal ditempatkan pada posisi yang sejajar dan berkeadilan. Lebih jauh, Al-Qur’an dan Hadis memandang prinsip keadilan sebagai salah satu tujuan pokok syari’ah (QS. An Nahl: 90). Karena itu, para ulama Islam telah menetapkan kesepakatannya bahwa prinsip berkeadilan merupakan syarat utama pelaksanaan kegiatan perekonomian syari’ah untuk mencapai kesejahteraan bersama. Prinsip kebebasan dimaksudkan bahwa manusia bebas melakukan seluruh kegiatan perekonomian selama tidak melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa segala bentuk kreativitas dan inovasi di bidang perekonomian adalah merupakan keniscayaan. Pilar kebebasan yang melandasi aktivitas ekonomi menanamkan aqidah dan keyakinan pada setiap muslim untuk tidak patuh dan tunduk selain kepada peraturan dan ketentuan Allah SWT (QS. Ar-Ra’d: 36 dan QS. Luqman: 32). Ini merupakan dasar bagi piagam kebebasan Islam dari segala bentuk perbudakan.  Berkaitan dengan hal ini, Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tujuan utama dari risalah kenabian Muhammad SAW adalah membebaskan seluruh umat manusia untuk mengabdi hanya kepada Allah SWT. Islam membebaskan seluruh pemeluknya dari segala macam belenggu hawa nafsu, dan godaan setan (QS. Al-A’raf: 157).
Konsep Islam sangat jelas dan lantang bahwa manusia dilahirkan merdeka. Karenanya, tidak ada seorang pun bahkan negara sekalipun yang boleh merampas kemerdekaan tersebut dan membuat manusia menjadi terikat. Dengan kata lain, manusia diberi kebebasan sepanjang dapat mempertanggungjawabkan, baik kepada sosial maupun kepada Allah. Islam menjamin kebebasan setiap individu yang dibingkai oleh akhlak yang terpuji dan tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar serta tidak mengabaikan hak-hak kebebasan orang lain. Berkaitan dengan ini, para ulama Islam telah menetapkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam menjamin hak-hak kebebasan individu dalam bermasyarakat. Prinsip-prinsip itu antara lain sebagai berikut:
  1. Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari pada kepentingan individu.
  2. Menghilangkan kesulitan (dar’u al-mafasid) harus diprioritaskan dibanding menarik manfaat (jalbu al-mashaalih)
  3. Memperoleh kerugian yang lebih besar yang disebabkan mendahulukan tindakan untuk menghilangkan kerugian yang lebih kecil tidak dapat diperkenankan. Sebaliknya demikian juga mengorbankan manfaat yang lebih besar untuk mempertahankan atau meraih manfaat yang lebih kecil juga dilarang. Demikian juga menanggung resiko bahaya yang lebih kecil untuk menghindarkan resiko bahaya yang lebih besar, atau mengorbankan manfaat yang lebih kecil untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar adalah tindakan yang dibenarkan.
Pertanggungjawaban dalam kegiatan ekonomi syari’ah memiliki arti bahwa manusia sebagai pemegang amanah memikul tanggung jawab atas segala keputusan yang telah diambil atau tindakan yang telah dilakukan. Manusia menurut Islam adalah makhluk yang mempunyai kebebasan untuk menentukan berbagai pilihan yang akan diambil. Konsekwensi kebebasan ini kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Oleh karena itu hampir tidak ditemukan di dalam perkembangan ekonomi Islam tindakan-tindakan yang didasari oleh sikap positivisme –yang merupakan salah satu dari pilar penting dalam perekonomian konvensional. Positivisme berarti sebagai paham bebas nilai, bebas etika atau bebas dari pertimbangan-pertimbangan normatif adalah bertentangan secara diametral dengan sikap Islam yang mengakui bahwa segala yang dimiliki manusia adalah amanat, titipan, dari Allah SWT. Seluruh sumberdaya adalah karunia Allah yang dititipkan kepada manusia sebagai sarana mempermudah pengabdiannya kepada-Nya. Karena itu segala tindakan manusia menyangkut masalah ekonomi ini khususnya, kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh Allah SWT.

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya8. Maka orang -orang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (QS. Al- Hadiid: 7)

Karakteristik terpenting yang membedakan antara sistem ekonomi syari’ah dan ekonomi konvensional adalah bahwa ekonomi syari’ah tidak dapat dipisahkan konsep segitiga islam, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlaq. Dalam praktiknya, sistem ekonomi syari’ah dimanifestasikan dalam kegiatan perekonomian yang menjunjung tinggi dan dibingkai oleh akhlak yang terpuji. Hanya dengan menjunjung tinggi akhlak yang terpuji (al-akhlaaq al-kariimah) kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan manusia akan terwujud. Mendidik dan menegakkan akhlak yang terpuji inilah yang menjadi misi utama dari risalah kenabian Muhammad SAW. “Sesungguhnya tidaklah aku diutus, melainkan untuk menyempurnakan akhlak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam sama sekali tidak memperkenankan semua pemeluknya untuk melakukan kegiatan ekonomi yang mengabaikan dan menyimpang dari kemuliaan dan keutamaan yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam...




REFERENSI
Departemen Agama RI. Al – Qur’an dan Terjemahannya. Departemen Agama RI: CV. Asy Syifa’: Semarang, 2001.
Fakih, Mansour, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi  Sosial; Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1996
_____________, Neoliberasime dan Globalisasi dalam Jurnal Al Manar Edisi I 2004
Metwally, M.M, Teori dan Model Ekonomi Islam, terj. M. Husein Sawit, Jakarta: PT Bangkit Daya Insana, 1995

Papper:
Chomsky, Noam, Profit Over People, Neoloberalism and Global Order, New York: 1999
Rizal Ramli, Solusi Monetaris dan Neoliberal: Kerawanan Lama Bungkus Baru; Econit Advisory Group
Walden Bello, Project Crisis Globalization and New Economy Paradigm George W. Bush, Mc Planet Conference, Berlin, 27 – 29 Juni 2003

Perundangan:
Undang-undang tentang Perbankan Syari’ah, Nomor 21 Tahun 2008 LN No.94 tahun 2008. TLN. No.4867

Internet:
http://www.jurnalislam.net.id
http://www.khilafah1924.org
http://www.nad.go.id
http://www.pascasarjana.mei-azzahra.com
http://www.rizkisaputro.wordpress.com
http://www.setneg.go.id
http://www.policy.hu/suharto
http://www.vibiznews.com
http://www.waspada.co.id

Newspapper:
Pelita, 16 Oktober 08
Republika, 16 Oktober 2008
Suara Karya, 17 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar