Sabtu, 11 September 2010

Senjakala Kapitalisme

Image: oregonlive.com
Setelah sistem sosialis tumbang, sistem kapitalis diperkirakan bakal menyusut. Tanda-tanda di amabang ajalnya sistem kapitalis itu bisa dilihat dari mneingkaknya kredit derivatif dari Rp.500 triliun pada tahun 1998, menjadi Rp.24.000 triliun pada akhir Desember 2002. Belum lagi jumlah obligasi yang default mencapai Rp.1.650 triliun, jumlah yang jauh lebih besar dari jumlah obligasi yang default selama 20 tahun sebelumnya. Siap runtuh bersama sistem ini atau mencari sistem alternatif ?
Sudah lama konsep dan sistem kapitalis ini menjadi sorotan, sejak Karl Max dan para pengikutnya, pemikir sosialis lainnya seperti EF Schumacher, Soedjatmoko, D.R Scott, pemikir ekonomi Islam seperti Umer Chapra, Prof M. A Manan, Masudul A. Choudury, Najetullah Siddiqi, sampai pada aliran sempalan kapitalis seperti Joseph Stiglitz, Paul Ormerod, Lester Thurow, , Kevin Phillip untuk menyebut beberapa nama.
Sistem ini semakin menjadi bahan pemikiran ulang lagi setelah beberapa skandal perusahaan terjadi belakangan ini yang puncaknya menghasilkan Sarbanes Oxley Corporate Act 2002. Sejauh ini yang menjadi perhatian pemerintah Amerika adalah memperbaiki aspek teknis dari sitem kapitalis itu, bukan filosofinya sehingga tidak heran jika krisis demi krisis ekonomi akan terus berulang.

Perbaikan Sebatas Teknis
Krisis ekonomi kapitalis ini sejak awal sampai sekarang telah terjadi, katakanlah, misalnya krisis ekonomi 1930, 1960, 1980, 1999, 2001 dengan berbagai pemicu dan besarannya. Sejauh ini yang diperbaiki hanya aspek teknisnya. Ambillah misalnya krisis 2001 dengan munculnya kasus Enron dan lain-lain yang terjadi adalah krisis kepercayaan disebabkan oleh karena skandal akuntansi dan etika di kalangan manajemen dan profesional (akuntan dan analisis)yang mengelola perusahaan Amerika. Mereka ini melakukan kerja sama strategis untuk meraup keuntungan dari sistem yang ada.
Respon Amerika misalnya adalah dengan menambah peraturan-peraturan yang sudah banyak. Berdasarkan Sarbanes Oxley Corporate Act 2002 misalnya maka akan dibentuk Public Corporation Oversighat Board. Namun sayangnya dalam mengisi pos-pos itu sudah menimbulkan kontroversi karena adanya tarik-menarik antara elit politik dan pihak-pihak yang berkepentingan.
William Webster yang telah ditunjuk untuk mengisi jabatan Accounting Oversight Board sudah mengundurkan diri pada 11 November yang lalu. Bahkan integritas dan independensi Ketua SEC saat ini Harvey L. Pitt pun diragukan karena kedekatannya dengan industri akuntansi.
Keadaan ini menggambarkan bagaiman sistem kapitalis itu sebenarnya sangat rentan dengan hal-hal yang bersifat manusia yang disebabkan oleh hawa nafsu serakah manusia yang sebenarnya dalam ekonomi Islam sudah diatur sedemikian rupa sehingga manusia dan segala keserakahan hawa nafsunya harus tunduk pada kepentingan yang lebih luhur dan lebih kekal bukan kepentingannya sesaat atau sepihak.

Berulangnya Kesalahan
Ssitem kapitalis itu sendiri akan mengulangi kesalahan-kesalahan lama dan terus berulang jika sifat dasar , filosofinya tidak diperbaiki. Sifat dasar kapitalisme memang dari awalnya sudah tidak ‘seimbang’, tidak adil. Karena visi dan misinya hanya mengutamakan ‘pemiliki modal’. Pemilik modal sebagai motor penggerak, inisiator, leader, dan otomatis juga sebagai penerima berkahnya. Pihak lain seperti tenaga kerja, profesional harsu dibawah naungannya.
Kapitalisme juga mengabaikan aspek transendent, ketuhanan dan hal-hal yang bersifat ghaib. Dasar filosofi rasionalisme sekular inilah yang menimbulkan ketidakseimbangan alam sehingga menimbulkan berbagai krisis-krisis yang berkelanjutan. Kapitalisme modern saat ini dibangun dengan monetary based economy bukan real based economy. Artinya ia banyak (dominana) bermain di level atas dari ekonomi riil.
Rente ekonomi diperoleh bukan melakukan kegiatan investasi produktif tetapi dalam investasi spekulatif. Bahaya potensial berikutnya yang akan kita hadapi seandainya masih terus mengamalkan sistem kapitalisme ini adalah runtuhnya sistem keuangan. Tanda-tanda ini sudah ada sebagaimana angka-angka tentang efek negatif monetary based economy yang dijelaskan berikut ini.
Menurut The Morgan Stanley yang dikutip David Igantius (washington Post, November 15, 2002) menujukkan bahwa pada tahun 2001 dan 2002 jumlah obligasi yang tidak mampu dibayar adalah Rp.1.650.000.000.000.000. atau rp.1.650 triliun . Jumlah ini lebih besar dari jumlah obligasi yang default selama 20 tahun sebelumnya jika seluruhnya diakumulasikan. Ini dari aspek surat berharga obligasi yang berbasis bunga.
Dari sudut pinjaman atau kredit Bank dapat diketahui bahwa kualitas aktiva produktif (kredit) di Amerika semakin lama semakin menurun. Menurut data Moody’s Ratio of credit Downgrades to Upgrades ini semakin menurun sejak tahun 1995 sampai saat ini. Ini membuktikan pola kredit berbasis bunga bisa membahayakan kelangsungan perbankan dan pada akhirnya sektor riil dan ekonomi secara umum.
Dari berbagai informasi baik skala nasional dan juga skala internasional menunjukkan betapa industri perbankan selau menjadi momok dan bahkan menjadi penyebab krisis ekonomi, industri perbankan di Amerika sudah lama sakit, jumlah bank menurun termasuk prestasi sahamnya di pasar bursa. Di beberapa negara lain seperti Jepang, China dan Jerman industri ini semakin mengkhawatirkan. Di Indonesia kita sudah rasakan krisis perbankan 1997 telah melahirkan krisis keuangan dan ekonomi yang berkepanjangan. Krisis perbankan ditutupi dengan pembentukan BPPN serta berbagai upaya merger, akuisisi dan lain sebagainya untuk menutupi kesalahan sektor ini. Paling tidak Rp.800 triliun uang rakyat terpksa disumbangkan (disubsidi) untuk para konglomerat serta para penjabat (sebagai pengambil keputusan) untuk menutupi krisis perbankan ini.

Krisis derivatif yang mencemaskan
Yang paling mengkhwatirkan lagi adalah ‘kredit derivatif’ yang semakin menonjol sebagai instrumen keuangan pada dekade terakhir ini. Menurut data Morgan Stanley, nilai kredit derivatif pada Desember 1998 hanya Rp.500 triliun namun pada Desember 2002 ditaksir sudah mencapai Rp.24.000 triliun suatu kenaikan sebesar 47.000 persen atau 4.700 kali lipat. Transaksi derivatif ini umunya tidak begitu difahami oleh umum bahkan investor sekalipun. Transaksi ini hanya transaksi ‘mimpi’ yang dikaitkan dengan aktiva keuangan sedangkan transaksi future merupakan spekulais tentang kejadian di masa yang akan datang.
Saat ini bank dan lembaga keuangan lain selalu menciptakan berbagai model transaksi derivatif yang dikaitkan dengan dengan fluktuasi ekonomi global misalnya kenaikan bunga atau resiko obligasi tidak dibayar yang dapat dijual kepada investor. Untuk resiko kredit tidak dibayar populer dengan nama credit swap.
Transaksi ini yang dalam sistem ekonomi syariah diharamkan sebenarnya sudah lama menjadi kekhawatiran di barat sendiri. Warren Buffet dan juga Rubin mantan Secretary of Trasury AS. Menurut mereka transaksi ini dapat meruntuhkan sistem keuangan global. Dan sayangnya sejauh ini agenda pemerintah Bush belum menyentuh isu ini. Kendatipun sejak tahun 1998 setelah krisis keuangan sudah ada beberapa aturan yang dibuat namun ternyata pada akhir tahun 2000 yang meledak adalah corporate scandal yang berporos pada kegagalan akuntansi dan profesinya.
Sejauh ini transaksi derivatif ini masih menjadi urusan birokrat yang rumit yang melibatkan beberapa lembaga seperti Pemerintah Pusat, Secretary of Treasury, SEC, dan The Commodity Futures Trading Commisison dan lembaga lainnya. Karena sifat transaksi ini lebih banyak kaburnya daripada jelasnya maka sebahagian besar orang justru mengalami kerugian hanya mereka yang faham saja yang mengeruk keuntungan atas transaksi ini.
Bagaimana kita di Indonesia ? Momentum dimana krisis dengan ‘dokter’ IMF ini ternyata tidak kunjung berakhir sudah selayaknya pemerintahan SBY bangun dari tidunya dan kembali membaca beberapa konsep ekonomi Bung Karno atau Bung Hatta, atau populer dengan istilah Berdikari, demokrasi ekonomi, ekonomi kerakyatan atau ekonomi yang bebas dari ketergantungan pada suatu kekuatan, atau kalau mau sebut saja Sistem Ekonomi Syariah.

Sofyan S Harahap
Sumber: http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=181

Tidak ada komentar:

Posting Komentar