Sabtu, 11 September 2010

Kritik Syariah Terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-Bank Asing

Image: eramuslim
Kontrak Murabahah Commodity dan bentuk-bentuk penggalangan dananya semisal tabungan/deposito murabahah adalah salah satu produk unggulan yang gencar dijual oleh bank-bank global/internasional yang beroperasi dengan prinsip syariah di berbagai negara. Transaksinya banyak melibatkan bursa berjangka seperti London Metal Exchange dan bursa berjangka lainnya di berbagai negara. Hal ini cukup menarik untuk dibahas, terutama dalam hal bagaimana pandangan syariah terhadap transaksi yang berlangsung dalam bursa berjangka dan bagaimana sesungguhnya sumbangsih Kontrak Murabahah Commodity dalam perbankan syariah yang sangat menjalankan fungsi intermediasi antara sektor keuangan dengan sektor riil.

Nuansa Konvensional Murabahah Commodity
Dalam pandangan syariah, suatu transaksi terlarang ketika paling tidak mengandung salah satu dari riba, gharar (risiko) berlebihan dan maysir (perjudian). Pembahasan yang dilakukan oleh ulama mengenai kontrak berjangka dan instrumen turunan (derivative) lainnya umumnya terletak pada kandungan Gharar yang berlebihan di dalamnya. Gharar bisa didefinisikan sebagai penjualan dari probable items yang eksistensi dan karakteristiknya tidak pasti, karena mempunyai risiko berlebihan yang mana membuat perdagangan itu menyerupai atau bahkan menjadi perjudian. Gharar timbul ketika adanya ketakpastian atau ketakcukupan informasi (jahl) dalam persyaratan-persyaratan yang ada dalam suatu kontrak seperti harga, obyek transaksi, jumlah obyek, waktu penyerahan, tempat penyerahan dan lainnya. Dalam sejumlah hadits, Rasulullah Muhammad SAW telah melarang jual beli yang mengandung Gharar ini.

Kontrak berjangka memiliki pengertian mirip dengan kontrak forward, yaitu sebuah kontrak untuk membeli atau menjual suatu komoditas atau sekuritas di masa datang pada harga yang telah ditetapkan sekarang. Hanya tidak seperti forward, kontrak berjangka biasanya terstandard dan diperjualbelikan di suatu bursa resmi. Contohnya dalam kontrak berjangka komoditas tembaga, 1 unit tembaga akan diperdagangkan pada harga X dan akan diserahkan pada waktu penyerahan (delivery date), akhir bulan ketiga. Dari kontrak ini timbullah kewajiban dari kedua belah pihak yang bertransaksi yang pemenuhannya ditunda sebagai waktu penyerahan. Kewajiban dari pembeli (long position) adalah menyerahkan 1 unit tembaga, sementara kewajiban penjual (short position) adalah membayar X unit uang. Meskipun dalam bursa berjangka, setiap trader wajib mendeposit sejumlah dana (margin) kepada pengelola bursa (clearing house), tidaklah mengakibatkan kewajiban kedua belah pihak tidak tertunda. Alasannya, jelas karena margin itu sendiri tidak diserahkan kepada para pihak (counterparties) dari kontrak dan biasanya mempunyai nilai jauh lebih kecil dibanding dengan besar nilai kontrak.
Mayoritas ulama sepakat bahwa transaksi dengan penyelesaian kewajiban dari kedua belah pihak pada suatu waktu di masa datang secara syariah terlarang karena adanya kandungan gharar yang berlebihan. Transaksi seperti ini dikenal juga dengan nama bai’ al-mudaf. Ada beberapa justifikasi terhadap adanya kandungan gharar dalam kontrak berjangka.
Pertama, timbulnya penundaan kewajiban kedua belah pihak dalam kontrak berjangka membuat transaksi ini menjadi penjualan sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai oleh penjual (short sale), sehingga secara syariah termasuk dalam transaksi terlarang (kecuali untuk beberapa kontrak seperti salam dan istishna yang mayoritas ulama menerimanya). Banyak bukti yang menunjukkan bahwa penjualan semacam ini telah mendorong prilaku spekulatif berlebihan yang mengarah ke perjudian.
Kedua, berasal dari praktek yang terjadi pada kebanyakan bursa berjangka dimana penyerahan fisik sebagai cara penyelesaian kontrak bukanlah menjadi tujuan. Dalam banyak kasus di bursa berjangka, transaksi biasanya berakhir dengan cash settlement (pembayaran kas) atau melalui offset/reversing trade (pembalikan transaksi perdagangan) sebelum waktu penyerahan, tanpa adanya penyerahan fisik. Malah terhadap kontrak berjangka yang memiliki dasar transaksi seperti indeks, penyerahan fisik sama sekali tidak memungkinkan. Ketidakpastian mengenai adanya penyerahan fisik ini membuat barang yang diperjualbelikan dalam kontrak berjangka diragukan keberadaannya atau malah sama sekali maya. Sehingga tidak diragukan lagi ke-gharar-annya.
Ketiga, sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi) juga mendukung transaksi ini terjerembab menjadi maysir ketika harga dari barang dasar (underlying good) kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) harganya dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif.
Selain gharar, kontrak berjangka juga membuka ruang terjadinya riba. Mudahnya, ambil contoh dalam suatu kontrak berjangka atau forward valuta asing. Seorang individu membeli $1000 dari suatu pihak spot pada rate $1:Rp.8500. Beberapa waktu kemudian individu tersebut masuk ke suatu kontrak berjangka/forward dengan counterpart yang sama untuk menjual $1000 pada forward rate $1: Rp9.500 setelah 1 bulan. Transaksi secara tidak langsung menunjukkan bahwa individu tersebut meminjamkan uang Rp.8,5 juta dan menerima bunga sebesar Rp. 1 Juta setelah satu bulan. Ini mirip dengan transaksi repo dalam keuangan konvensional dan jelas ditolak oleh mayoritas ulama.
Transaksi dalam kontrak berjangka dimana terjadi penundaan kewajiban dari kedua belah memiliki nuansa pertukaran hutang dengan hutang (bai al dayn bi al dayn) yang terlarang. Misalkan suatu kontrak berjangka tembaga. Si A membeli tembaga 1 ons seharga 1000 satuan uang dari si B yang akan diserahkan pada akhir bulan ke tiga. Dapat dilihat di sini bahwa hutang si A kepada si B sejumlah 1000 satuan uang setelah 1 bulan akan ditukarkan dengan hutang si B kepada si A sejumlah 1 ons tembaga setelah 1 bulan.

Hedging atau Spekulasi
Dari kenyataan di atas, terlihat bahwa transaksi dalam kontrak berjangka jelas mengandung unsur gharar, riba dan maisir. Hal ini membuat fungsi instrumen ini (juga instrumen derivative lainnya) sebagai alat lindung (hedging) nilai dipertanyakan. Tujuan bertransaksi apakah untuk hedging atau spekulasi makin tidak jelas.
Volatilitas pasar dan ketidakjelasan dari underlying good suatu kontrak malah memancing lebih banyak prilaku spekulatif yang pada akhirnya menuju pada volatilitas pasar yang lebih besar (resiko lebih tinggi). Pada akhirnya justru bisa saja membawa kemudharatan pada masyarakat yang lebih besar dari manfaatnya. Banyak contoh kasus yang timbul mulai dari the October 1987 crash, telah membuat NYSE crash sebagai akibat dari efek transaksi dari kontrak berjangka indeks saham yang tidak terkendali sampai ke kasus Bank Barings yang cukup menghebohkan keuangan global.
Inovasi dalam kontrak berjangka (juga instrumen derivative) lainnya justru meningkatkan unsur gharar dalam kontrak ini. Transaksi semacam kontrak berjangka indeks jelas memperdagangkan sesuatu yang maya. Transaksi maya yang digelembungkan oleh segelintir orang atau segelintir komunitas khusus di beberapa kota bisnis terbesar di dunia telah mendatangkan malapetaka dalam perekonomian. Jumlah uang yang beredar di bisnis riil menjadi terbatas karena tersedot oleh transaksi maya. Padahal utamanya, perkembangan dari bisnis riil memberikan kontribusi langsung terhadap tingkat perekonomian negara dan tentunya kesejahteraan masyarakat.

Murabahah Commodity Bank Asing: Instrumen Syariah Yang Dipaksakan
Murabahah Commodity yang ditawarkan bank-bank asing dalam bentuk tabungan atau deposito murabahah, sesungguhnya lebih banyak dilakukan dengan nuansa konvensional sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Bungkus-bungkus syariah yang mengerucut kepada pengembangan konsep Tawarruq / Tawriq dari murabahah commodity itu sebenarnya cuma menguntungkan segelintir pihak karena meniadakan fungsi yang paling digembar-gemborkan di perbankan syariah yaitu sebagai ‘the true financial intermediary between financial sector and the real sector’. Konsep yang digunakan dalam Murabahah Commodity untuk Tabungan/Deposito Murabahah dapat dimisalkan dengan urut-urutan transaksi sebagai berikut:
1. Nasabah Bank Syariah Asing menginvestasikannya dananya pada bank tersebut dan setuju untuk diinvestasikan oleh bank syariah pada produk Murabahah Commodity
2 Kemudian bank tersebut menginvestasikan kelebihan likuiditasnya pada pasar commodity
3. Bank membeli commodity melalui broker A dengan membayar tunai
4. Bank menjual commodity tersebut melalui broker B dengan pembayaran secara tangguh yang mengindikasikan keuntungan tertentu
5. Broker B menerima pembayaran sesuai skedul diteruskan ke bank setelah dipotong fee
6. Bank memberikan pokok dan margin tertentu kepada nasabah sesuai kesepakatan di awal

Transaksi kebalikan dari urut-urutan yang dijelaskan sebelumnya adalah konsep Tawarruq / Tawriq yang banyak ditawarkan bank-bank syariah asing kepada bank-bank syariah lokal di berbagai negara untuk menanggulangi kebutuhan likuiditas bank-bank lokal tersebut. Urut-urutan transaksinya adalah sebagai berikut:

1. Bank lokal membeli commodity secara tangguh dengan harga pokok ditambah margin melalui bank asing
2 Bank asing membeli pada broker A
3. Bank asing memberitahu kepada bank lokal bahwa commodity telah dibeli dan siap untuk dikirim ke bank lokal
4 Bank lokal meminta bank asing untuk menjual commodity tersebut kepada broker B secara tunai
5 Bank asing menjual commodity kepada broker B
6 Broker B menyerahkan uang tunai sebagai pembayaran commodity kepada bank asing
7 Bank asing menyerahkan uang tunai kepada bank lokal setelah dipotong fee
8 Bank lokal membayar commodity secara tangguh pada saat jatuh tempo melalui bank asing
9 Broker A menerima pokok pembayaran ditambah margin dari bank asing sesuai kesepakatan di awal

Bayangkan jika bank-bank syariah asing lebih banyak yang melakukan transaksi murabahah commodity untuk menarik tabungan/deposito murabahah dari nasabah lokal dan kemudian melakukan transaksi kebalikannya terhadap perbankan syariah lokal, maka yang terjadi adalah cash outflow besar-besaran dari lokal ke asing. Sehingga dapat dikatakan bank-bank asing yang terlalu gencar menawarkan produk-produk semacam ini ke perbankan syariah lokal, sebenarnya malah menghancurkan fungsi perbankan syariah sebagai ‘the true financial intermediary between financial sector and the real sector’.

Terakhir, mungkin akan timbul pertanyaan, dengan demikian adakah altenatif untuk pihak-pihak yang semata ingin melakukan lindung nilai. Tentunya diperlukan adanya inovasi syariah untuk mendapatkan instrumen lindung nilai yang lepas dari riba dan gharar serta maisir yang berlebihan. Murabahah commodity sendiri bisa menjadi salah satu alternatifnya jika dilakukan dengan batasan-batasan ketat yang dipatuhi pihak perbankan syariah lokal maupun asing dengan sebenar-benarnya tanpa harus mengorbankan fungsi perbankan syariah sesungguhnya.

Lalu apa sebenarnya Perbankan Syariah itu? silahkan melihat file RUU Perbankan Syariah yang telah disetujui DPR RI tanggal 19 Juni 2008 yang pengesahanya oleh pemerintah berlaku otomatis setelah sebulan disetujui DPR RI.


Muhammad Gunawan Yasni, SE.Ak., MM
Anggota DSN - MUI
Praktisi & Pengajar Keuangan Syariah
sumber: http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar